Belakangan ini banyak sekali postingan di dunia maya yang
bikin gue ngerasa apa, ya? Sendirian mungkin. Merasa makin asing.
Sedih rasanya melihat ternyata banyak muslim yang masih
bingung. Bingung caranya untuk tetap berpegang teguh pada aqidahnya, tetapi
tetap bisa menjadi muslim yang mengerti toleransi. Banyak muslim yang
mencampuradukkan. Mencampuradukkan dan membenarkan semua agama hanya supaya
dianggap toleran, bahkan menganggap agama hanyalah warisan. Padahal agama itu
adalah pilihan. Kalau gue bilang, agama itu berkah dari Tuhan. Terserah kalau
ternyata umat lain beranggapan yang sama. Karena begitulah seharusnya beragama.
Yakin kalau agamanya adalah rahmat dari Yang Maha Kuasa.
Kena sulit sekali orang-orang mengerti, menjadi muslim yang
taat dan toleran itu sangat mungkin. Mungkin gue beruntung, karena di sekitar
gue begitulah Muslimnya. Ilmunya tinggi, tapi ademnya luar biasa. Mungkin yang
begitu masih sedikit terdengar suaranya. Karena rata-rata dari mereka memang
jarang bersuara. Seakan-akan mereka tidak ada. Sering kali gue iri ngelihat
umat agama lain, kristiani contohnya. Yang beriman betul pada agamanya. Tidak bingung.
Tidak mengiyakan semua ajaran agama karena mereka yakin agama mereka lah yang
benar.
Bukannya memang harus begitu, ya , dalam beragama? Beriman dengan
keyakinan yang dipeluk. Bertoleransi karena tidak menyalahkan ajaran agama lain.
Bertoleransi karena membiarkan orang lain memeluk apapun yang mereka yakini. Tetap
sibuk belajar tentang agama sendiri sebelum membanding-bandingkan dan mencari
kesalahan dari agama lain. Tapi tidak pernah mereka dicap intoleran. Tidak pernah
seorang kristen yang taat, yang sering berdakwah atau sekedar menyampaikan satu
dua patah ayat dari Al-Kitab dianggap radikal.
Hanya muslim. Hanya muslim yang berjenggot, berkerudung
panjang, yang sering kali membicarakan agama di akun media sosialnya, yang kuat
prinsip agamanya, yang boleh dianggap ekstrim. Walaupin Ia tidak memojokkan
agama lain, tapi ayat-ayat Quran tersebut sudah cukup untuk membuatnya
dikategorikan demikian. Mungkin karena Islam adalah mayoritas. Kalau mayoritas
tidak fleksibel, tandanya mayoritas intoleran.
Lalu di mana salahnya? Di mana letak kesalahan kita? Di sisi
lain, kesedihan hati ini disebabkan oleh saudara seiman gue yang dengan
mudahnya mengkotak-kotakkan orang ke kategori suci dan berdosa. Menjadi muslim
yang judgemental itu bahaya.
Mungkin seringkali kita bermaksud berdakwah, tapi salah
caranya. Bermaksud ingin menyebarkan ajaran Islam, tapi tidak tahu caranya. Malah
membuat orang lain membuang muka. Mencoba meluruskan sekelompok manusia yang
masih abu-abu itu sulitnya luar biasa. Butuh strategi karena tenyata agama
sudah hilang pesonanya. Bahkan di Indonesia yang adalah negara dengan populasi
muslim terbanyak di dunia.
Saudara seimanku, sampaikanlah walau satu ayat. Tapi ingatlah
untuk selalu melembutkan hatimu. Ayat-ayat Allah itu mulia. Sampaikanlah dengan
ikhlas, dengan tulus, tanpa menyertakan egomu, tanpa menyertakan kesombonganmu.
Allah lah yang menjadikanmu seperti sekarang. Allah lah yang
menunjukan kebenaran kepadamu. Janganlah engkau lupa kalau dahulu kau berada di
posisi itu, posisi yang sekarang engkau anggap masa kelammu.
Pesan ini berlaku buat kita semua, termasuk gue.
Sebaik-baiknya berdakwah, dakwah yang terbaik adalah dengan
perilaku kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar